19/11/10

Urbanisasi, Kawasan Kumuh dan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan

Hasil Sensus 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,7 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen per tahun selama sepuluh tahun terakhir. Hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Biro Pusat Statistik memproyeksikan persentase penduduk di wilayah perkotaan akan mencapai 68 persen pada tahun 2025.

Laju pertumbuhan penduduk perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan penduduk pedesaan sejak tahun 1950. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk pedesaan mengalami terus penurunan sejak tahun 1995.Tingginya laju pertumbuhan penduduk perkotaan atau urbanisasi ini tentunya merupakan tantangan besar bagi pembangunan perkotaan di Indonesia. Ketidaksiapan pemerintah kota untuk mengantisipasi tingginya laju urbanisasi ini akan menimbulkan beragam masalah perkotaan.
Kawasan Jabodetabek dengan jumlah penduduk sebanyak 18,4 juta jiwa merupakan kawasan perkotaan terbesar di Indonesia dan ke-enam terbesar di dunia yang sarat dengan masalah perkotaan. Tulisan ini akan mengulas dua masalah perkotaan terkait dengan tingginya laju urbanisasi di kawasan Jabodetabek yaitu berkembangnya kawasan kumuh dan berkurangnya ruang terbuka hijau.

Bertambahnya Kawasan Kumuh dan Peremajaan Kota
Biro Pusat Statistik melaporkan pada tahun 2010 penduduk miskin di perkotaan mencapai 9.87 persen. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Di kawasan perkotaan, masalah kemiskinan sering kali dikaitkan dengan permukiman kumuh dimana penduduk miskin tinggal. Permukiman kumuh ditemui hampir di setiap sudut kota di Indonesia. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman kumuh tersebut adalah buruknya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
 
Harian ini (14 Oktober 2010) melaporkan luas kawasan kumuh di kawasan Jabodetabek pada tahun 2009 mencapai 20.000 ha. Luas kawasan kumuh di Jabodetabek mencapai 35 persen dari total kawasan kumuh di Indonesia. Kawasan kumuh ini akan terus bertambah seiring dengan tingginya laju urbanisasi di kawasan Jabodetabek. Pendekatan konvensional yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
 
Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
 
Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau
Tingginya laju urbanisasi juga menyebabkan tingginya permintaan terhadap lahan untuk menampung kegiatan perkotaan termasuk perkantoran, jasa, perdagangan, hotel dan perumahan. Kawasan ruang terbuka hijau merupakan “korban” dari konversi lahan untuk kegiatan perkotaan. Pada tahun 1965, kawasan ruang terbuka hijau mencakup lebih dari 35% dari luas wilayah Jakarta dan jumlah ini terus berkurang seiring dengan tuntutan ruang akibat laju urbanisasi. Pada saat ini, kawasan ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta adalah sekitar 9.3% dari luas wilayah Jakarta.

Rencana Induk Jakarta 1965-1985 menetapkan luas RTH sebanyak 27,6 persen dari luas total DKI Jakarta. Persentase ini menurun terus pada rencana tata ruang berikutnya, yaitu Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 (26.1 persen) and Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010 (13,9 persen). Penurunan luas RTH dalam ketiga rencana tata ruang kota Jakarta tersebut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah DKI Jakarta untuk mempertahankan RTH sebagai komponen penting dalam ruang kota. Hal ini diakibatkan lemahnya penegakan rencana tata ruang dan tingginya permintaan lahan perkotaan untuk mewadahi tingginya laju urbanisasi.

Konversi RTH dan kawasan resapan resapan air menjadi kawasan terbangun seringkali disebut sebagai penyebab terjadinya banjir yang setiap tahun melanda Jakarta. Berkurangnya RTH juga ditengarai yang menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah (land subsidence) di Jakarta. Mengingat Jakarta perlu segera membenahi dan mengembalikan RTH. Proporsi RTH di Jakarta saat ini masih jauh dari target RTH menurut RTRW 2010 (13.94 persen) atau bahkan target yang ditetapkan dalam UU Penataan Ruang 26/2007 sebesar 30 persen dari total wilayah.

Menuju Pembangunan Kota yang Berkelanjutan
Urbanisasi adalah penggerak roda perekonomian dan pembangunan kota. Tingginya laju urbanisasi tidak mesti menyebabkan masalah bagi pemerintah kota. Kondisi tersebut tidak terjadi di Jabodetabek mengingat tingginya urbanisasi ini disebabkan pula oleh migrasi penduduk miskin pedesaan di Jawa ke Jabodetabek. Biro Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin di pedesaan sebanyak 16.56 persen pada tahun 2010. Angka ini hampir dua kali lipat jumlah penduduk miskin di perkotaan.

Kawasan perkotaan dijadikan tujuan bagi para penduduk miskin pedesaan di Jawa untuk keluar dari kemiskinan. Sementara itu, pemerintah kota tidak siap untuk menampung para migran dari pedesaan ini. Hal inilah yang memacu perkembangan kawasan kumuh di perkotaan khususnya di Jabodetabek. Jalan terbaik untuk mengerem perkembangan kawasan kumuh di perkotaan adalah menggalakkan pembangunan di pedesaan misalnya pengembangan infrastruktur untuk meningkatkan produktivitas petani di pedesaan. Meningkatnya produktivitas pertanian di pedesaan akan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan dan secara tidak langsung akan mengerem laju migrasi penduduk desa ke kota.

Cara untuk mengatasi kawasan kumuh di kawasan perkotaan adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti diberdayakan dan bukannya digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan dan permukiman kumuh di perkotaan adalah pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Winayanti dan Lang (2004) dan Rukmana (2007) menunjukkan bahwa perbaikan kawasan kumuh melalui pendekatan berbasis masyarakat (community-based development) dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan kumuh.

Mengenai berkurangnya RTH di Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta mesti mengembalikan RTH yang telah terkonversi menjadi kawasan terbangun. Apa yang telah dilakukan oleh Pemda DKI dengan mengembalikan fungsi RTH pada 27 pom bensin pada akhir tahun 2009 lalu adalah langkah yang sangat patut dihargai dan terus dilanjutkan di masa-masa mendatang. RTH merupakan komponen penting dalam ruang kota yang dapat mencegah beragam bencana seperti banjir ataupun penurunan permukaan tanah.

Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingginya urbanisasi di Jabodetabek adalah mengembangkan kawasan perkotaan lainnya di Indonesia untuk mengimbangi daya tarik Jabodetabek. Perlu terdapat kawasan perkotaan lainnya yang dapat menjadi penyeimbang Jabodetabek. Wacana pemindahan ibukota keluar Jakarta adalah juga salah satu alternatif penting yang perlu dipertimbangkan untuk mengurangi urbanisasi di Jakarta dan sekitarnya.

(Rukmana, Deden. Urbanisasi, Kawasan Kumuh dan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Suara Pembaruan.19 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar