19/11/10

Ide Pemindahan Ibukota Jakarta

Lima tahun yang lalu, saya menyiapkan tulisan untuk menanggapi pendapat Prof. Riswandha Imawan yang dimuat di Kompas tanggal 15 Agustus 2005. Beliau menyarankan untuk menyebarkan departemen keseluruh wilayah Indonesia sesuai dengan masalah yang diurus. "Misalnya, Departemen Pertambangan dan Energi direlokasi ke Timika (Papua), Departemen Kehutanan direlokasi ke Samarinda (Kaltim), Departemen Kelautan ke Ambon, Departemen Agama ke Aceh, Departemen Pendidikan Nasional keYogya, Departemen Pariwisata ke  Bali, Departemen Perdagangan ke Padang (Sumbar),dan sebagainya".

Berikut tanggapan saya terhadap tulisan Prof. Riswandha Imawan :

Menggagas Pemindahan Ibukota R.I.
Deden Rukmana
17 Agustus 2005

Beberapa waktu lalu dalam obrolan santai dengan beberapa teman Indonesia, saya sempat kemukakan ide pemindahan ibukota R.I ke luar Jakarta. Saat itu saya menggagas untuk memindahkannya ke salah satu daerah di Kalimantan bagian Timur atau Sulawesi bagian Barat. Rasional dari pemindahan ini adalah sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi Jakarta akibat urbanisasi dan ketimpangan wilayah di Indonesia akibat polarisasi perkotaan di Jawa. Derap reformasi politik serta semangat desentralisasi dan otonomi daerah juga mempengaruhi munculnya ide tersebut. Beberapa teman langsung menanggapinya dengan skeptis karena dianggapnya sebagai utopia yang tidak praktis untuk dijalankan.

Setelah membaca opini yang disampaikan oleh Riswandha Imawan (Kompas, 15 Agustus 2005), saya kembali tergugah untuk menggagaskan pemindahan ibukota R.I. ini. Dalam opini tersebut penyebaran departemen ke berbagai daerah dianggap sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan sense of belongings and sense of responsiveness bagi rakyat Indonesia di luar Jakarta. Menurut saya ide penyebaran departemen tersebut justru kontraproduktif dalam upaya nation and character building. Sebagai alternatifnya adalah memindahkan ibukota R.I ke salah satu daerah di Indonesia bagian Tengah.
Jakarta dan Masalahnya

Peran Jakarta sebagai ibukota R.I. tidak terlepas dari proses sejarah sejak awal penjajahan Belanda dulu yang menempatkan Jakarta sebagai pusat keluar masuk barang-barang dari dan ke Indonesia. Posisi sebagai pusat distribusi ini semakin menguat dan melebar ke dominasi politik dan ekonomi terhadap daerah-daerah lainnya di Indonesia sampai saat ini.

Jakarta saat ini adalah pusat segala aspek kehidupan di Indonesia. Selain sebagai pusat pemerintahan R.I. juga sebagai pusat perdagangan, keuangan, jasa, hiburan, olahraga, budaya, transportasi, penelitian, dan juga kriminalitas termasuk korupsi. Tidaklah mengherankan dengan peran sebagai pusat berbagai aktifitas di Indonesia tersebut, Jakarta mengalami proses urbanisasi yang sangat cepat.

Metropolitan Jakarta atau Jabodetabek saat ini berpenduduk hampir mendekati 18 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk lebih dari 2.5 persen pertahun. Jumlah penduduk ini sebanyak hampir sepuluh persen total penduduk Indonesia tetapi hanya menempati 0.3 persen luas total wilayah Indonesia. Laju penduduk Jabodetabek akan terus lebih tinggi dibandingkan dengan laju penduduk Indonesia seiring dengan laju urbanisasi di Indonesia.

Permasalahan yang terkait dengan pesatnya laju urbanisasi ini terus mendera Jakarta. Kemacetan lalu lintas, pemukiman kumuh dan liar, banjir, berkembangnya sektor informal adalah bukti bahwa Jakarta tidak mampu mengimbangi derap urbanisasi yang terjadi. Berbagai kebijakan perkotaan di Jabodetabek saat ini terbukti tidak mengatasi masalah perkotaan yang muncul. Kebijakan yang ditempuh tidaklah menyentuh salah satu akar penyebab urbanisasi yaitu tingginya daya tarik Jakarta bagi kaum pendatang. Berbagai kegiatan ekonomi, budaya, sosial dan politik tetap saja terpolarisasi di Jakarta. Dominasi Jakarta terhadap daerah-daerah lainnya di Indonesia akan terus menguat bilamana tidak ada upaya untuk merelokasi salah satu atau beberapa pusat kegiatan ke luar Jakarta.

Menyebarkan Departemen atau Memindahkan Ibukota

Argumen yang disampaikan oleh Riswandha Imawan bahwa penyebaran departemen merupakan solusi untuk national and character building tidaklah tepat. Sedikitnya ada dua rasionalisasi yang dapat saya kemukakan disini.

Pertama, pilihan untuk memindahkan suatu departemen ke suatu daerah akan mendegradasi pentingnya daerah lainnya dan akan mengesankan dominasi daerah terpilih berikut aspek terkaitnya. Misalnya pemindahan Departemen Pertambangan dan Energi ke Timika akan mengurangi pentingnya Aceh sebagai produsen gas bumi. Apakah tambang di Timika dianggap lebih penting dibandingkan tambang gas bumi di Aceh? Tentu tidak. Semestinya kita menganggap bahwa semua daerah berikut dengan potensi tambangnya dianggap sama penting dalam konteks pembangunan bangsa. Dengan analogi yang serupa untuk departemen-departemen lainnya kita bisa berakhir pada pentingnya suatu lokasi terpusat untuk mewadahi berbagai departemen-departemen tersebut.

Kedua, perkembangan sarana telekomunikasi modern tidaklah cukup sebagai media untuk koordinasi. Komunikasi secara fisik dan intensif tetap diperlukan dalam koordinasi dan ini menuntut kedekatan lokasi untuk mencapai efisiensi biaya. Banyak ahli yang mengupas perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dan pengaruhnya terhadap ruang. Graham dan Marvin (1996) menyebutkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi akan mendesentralisasikan lokasi-lokasi produksi, pemasaran, gudang dan distribusi. Mereka akan berlokasi berjauhan dan menempati tempat yang mampu memberikan efisiensi biaya terbaik. Di lain pihak, desentralisasi lokasi-lokasi produksi menyebabkan pula sentralisasi kontrol dan fungsi pusat intelegensi pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi. Intensitas komunikasi dari pihak-pihak yang terkait dalam control dan pusat intelegensi ini akan meningkat dan tidak cukup difasilitasi oleh media komunikasi. Pertemuan dan koordinasi secara fisik masih mereka perlukan.

Teknologi computer grafis tiga dimensi, audioconferencing, videoconferencing berikut dengan penggunaan e-mail dan Web pages mampu memfasilitasi aktivitas ekonomi dan social dengan cara yang lebih fleksibel dan efisien. Namun semua itu belum bisa menggantikan ruang untuk mewadahi perlunya pertemuan fisik (Mitchell, 2000). Di Amerika Serikat, meningkatnya penggunaan teknologi telekomunikasi tidak menyurutkan pembangunan bangunan komersial di perkotaan. Kemudahan untuk mendownload video tidak menihilkan minat orang untuk pergi ke bioskop. Akses internet yang sangat memadai, tidak bisa menghilangkan cara lama melalui kuliah tatap muka dan digantikan dengan kuliah on-line. Pola interaksi sosial yang sudah lama dikembangkan dalam peradaban manusia masih terlampau kuat untuk diubah melalui penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi.

Sebagai alternatif cara untuk nation and character building bangsa Indonesia, saya gagaskan pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke suatu daerah di kawasan Indonesia bagian Tengah. Selama ini pusat pemerintahan berada di daerah yang memiliki dominan secara ekonomi dan politik. Orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi dan berada di dalam pusat kekuasaan menikmati eksistensi Jakarta sebagai ibukota RI. Sementara orang-orang di luar Jakarta merasa terpinggirkan baik secara politik dan ekonomi. Inilah konsekuensi logis dari bersatunya pusat ekonomi dan pusat politik dan pemerintahan di satu lokasi.

Penutup

Dasar pemikiran untuk mengagas pemindahan ibukota RI ini tentunya berbeda dengan ide serupa beberapa tahun lalu untuk memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jonggol, Bogor. Ibukota RI perlu dipindahkan ke daerah yang secara geografis berada di tengah-tengah Indonesia. Studi yang mendalam tentunya diperlukan untuk menentukan lokasi yang tepat secara daya dukung fisik, sosial maupun ekonomi. Bilamana gagasan ini pun diterima diperlukan waktu panjang untuk merealisasikannya. Hanya saja ketika berimajinasi dengan gagasan ini, saya membayangkan bahwa peringatan detik-detik proklamasi ke-100 dipusatkan di Kalimantan Timur atau Sulawesi Tengah dan kehidupan sosial ekonomi dan politik masyarakat di luar Jakarta telah berubah banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar